Sejarah Desa

SEJARAH DESA GRINGGINGSARI 

Desa Gringgingsari terletak di daerah pegunungan. Termasuk wilayah kecamatan Wonotunggal kabupaten Batang. Desa Gringgingsari dapat terkenal, karena ada makam Auliya’ yaitu makamnya mbah Sayid  Abdurrahman Sunan Kajoran yang terkenal dengan nama mbah Pangeran Kajoran. Makamnya terletak di pemakaman umum desa Gringgingsari yang lokasinya ada di sebelah barat Masjid Al Karomah. Banyak para penziarah yang datang ke makam tersebut untuk berdo’a meminta kepada Allah agar hajatnya terkabul. Mbah Pangeran Kajoran menjadi tumpuan, sandaran warga desa Gringgingsari karena jasanya yang telah membawa pelita, untuk menerangi warga Gringgingsari dari kegelapan, menuju zaman pencerahan. Adapun Silsilah Sayid  Abdurrahman Sunan Kajoran sampai pada Nabi Muhammad SAW adalah sebagai berikut : Sayid  Abdurrahman Sunan Pangeran Kajoran Bin Sayid Ahmad Bin Sayid Syekh Bin Sayid Ahmad Bin Sayid Imam Yahya Bin Sayid Hasan Bin Sayid Ali Bin Sayid Alwi Bin Sayid Muhammad Maulad Dawilah Bin Sayid Ali Baldawi Bin Sayid Muhammad Faqih Muqoddam Bin Sayid Ali Bin Sayid Muhammad Shoibul Mirbat Bin Sayid Ali Kholi’ Qosam Bin Sayid Alwi Bin Sayid Muhammad Bin Sayid Alwi Ubaidilah Bin  Sayid Ahmad Muhajir Bin Sayid Isa An Naqib Bin Sayid Muhammad An Naqib Bin Sayid Ali Uraidhi Bin Sayid Imam Jafar Sodiq Bin Sayid Muhammad Baqir Bin Satid Imam Ali Zainal Abdidin Bin Sayid Husain  Bin Ali Bin Abi Tholib Karromallahu Wajha Wasayidatina Fatimah Az Zahra Binti Sayidil Mursalin Sayidina Muhammad Rosulallah SAW )*

)* Saya menerima nasab ini dari maulan Habib Lutfi Bin Hasyim Bin Umar Bin Thoha Bin Hasan Bin Thoha Bin Muhamad Al Qodhi Bn Thoha Bin Muhamad Bin Syekh Bin Ahmad Bin Yahya – Pekalongan, Beliau mendapat ijazah silsilah ini dari para ulama sepuh cirebon diantaranya

  1. Syekh Muhammad Kukab – Bondo Kerep
  2. Syekh Muhtadi – Bendo Kerep
  3. Syeh Irsyad – Bendo Kerep
  4. Syekh Misbah – Bendo Kerep
  5. Syekh Mas’ud – Bondo Kerep
  6. Syekh Muhammad Amin Bin Bin Muhammad Ma’sum Bin Muhammad Amin – Dolang Jeru

Adapun saudara dari Sayid  Abdurrahman Sunan Pangeran Kajoran yaitu :

  1. Sayid Umar ( Pangeran Syarif) - Jepara
  2. Sayid Abu Bakar – Pulau Panjang Jepara
  3. Sayid Abdullah Panjunan Pelangonan Cirebon, menurut sebagian cerita beliau kembali ke Cirebon dan wafat di Cirebon dimakamkan di Panjunanan Lengonan Cirebon, dengan Julukan “ Kanjeng Sunan Qodhi Kejaksaan”

Wallahualam

ASAL USUL DESA GRINGGINGSARI

Berdasarkan riwayat, cerita-cerita dari para sesepuh yang kami terima, bahwa desa Gringgingsari dahulunya bernama Karangsirno, orang yang pertama kali bermukim dan babad alas adalah Ki Mondroguno beserta istri, atau masyarakat sekarang lebih mengenal dengan sebutan Kyai Ageng Gringgingsari dan Nyai Ageng Gringgingsari, dari masa ke masa jumlah penduduk menjadi semakin banyak akhirnya menjadi pemukiman penduduk dan dinamakan desa Karangserno, menurut sejarah pitutur kira kira generasi ke 10 dari Ki Mondroguno atau yang di kenal dengan sebutan Kyai Ageng Gringgingsari kedatangan Syeh Sayid Abdurohman Sunan Kajoran, yaitu pada masa Mbah Wongsogati II.

Adapun mbah Wongsogati II adalah putra dari Mbah Bromogati dan cucu dari mbah Wongsogati I, saat itu masyarakat Karangserno memeluk agama Hindu .

Pada waktu dipimpin oleh mbah Wongsogati II yaitu perkiraan tahun 1677 M desa Karangsirno dilanda musibah, yaitu sejenis penyakit yang dinamakan penyakit to’un (PAGEBLUG) dengan gejala pagi sakit sorenya meninggal. Banyak warga desa yang meninggal akibat serangan penyakit tersebut. Sudah banyak cara yang dilakukan untuk meredam penyakit tersebut namun belum juga berhasil. Akhirnya selaku pemimpin yang merasa bertanggungjawab kepada warganya, mbah Wongsogati II pergi ke luar desa atau disebut dengan NGAYAM ALAS, dengan tujuan untuk mencari seseorang yang bisa menanggulangi wabah penyakit yang sedang melanda desanya, banyak pertapa dan penembahan sakti  yang di temui beliau namun belum ada yang mampu mengobati penyakit yang menimpa desanya. Mbah wongsogati tidak putus asa menyusuri dari hutan ke hutan untuk mencari obat bagi desanya.

Suatu hari dalam rangkaian NGAYAM ALAS (perjalanan keluar desa / mengembara) Mbah Wongsogati II berjalan menyusuri  sungai yang bernama kalikupang, tibalah beliau di sebuah tempat ditepi sungai kali kupang dimana ada tebing tinggi menjulang kurang lebih 6 M tingginya, di tebing tersebut terdapat sebuah lobang mirip gua,  Di situ beliau Melihat dua orang yang sedang duduk di lobang gua tersebut, Mbah Wongsogati II pun heran karena jarak gua itu dengan tepi sungai sangat tinggi, mustahil orang biasa dapat naik ke atas, hal ini yang membuat Mbah Wongsogati II yakin bahwa dua orang yang dilihatnya bukan orang sembarangan, dua orang itu nampak duduk tenang dan melafalkan kalimat – kalimat asing bagi mbah Wongsogati II,  Beliau menunggu kedua orang tersebut. Setelah mereka selesai berdzikir kemudian beliau menghampiri keduanya dan menyapanya. Dan akhirnya mereka bertiga saling memperkenalkan diri. Keduanya masing-masing bernama Pangeran Kajoran dan Pangeran Trunojoyo.

Kemudian mbah Wongsogati II menyampaikan isi hatinya, yaitu tentang musibah yang sedang melanda desanya. Diakhir cerita beliau bertanya apakah mereka berdua bisa untuk mengatasi wabah penyakit tersebut. Pangeran Kajoran menjawab “YEN GELEM MELU, AKU TAK TAMBANI”, dengan maksud yaitu Pangeran Kajoran bersedia menyembuhkan penyakit yang melanda desa Karangserno jika mereka bersedia untuk memeluk agama Islam dengan sukarela. Demi kesembuhan penyakit tersebut mbah Wongsogati II bersedia untuk mengajak warga desanya memeluk agama Islam asalkan desa Karangsirno terbebas dari wabah yang sedang melanda. Akhirnya mereka bertiga saling punya janji atau tanggungan. Maka tempat tersebut dinamakan “KEDUNG SINANGGUNG “

Selanjutnya mereka berangkat pergi menuju desa Karangsirno. Sampai di suatu tempat Pangeran Kajoran bertanya di manakah letak desa Karangsirno. Kemudian mbah Wongsogati II menunjukan suatu tempat yang terlihat jauh di arah selatan. Mereka memandang  ( nyawang ) tempat yang ditunjukan oleh mbah Wongsogati II. Akhirnya tempat tersebut dinamakan “ KETAWANG “ yang berarti tempat untuk nyawang / memandang, adapun dukuh Ketawang sekarang masuk wilayah Desa Gringgingsari.

Setelah sampai di desa Karangsirno mbah Wongsogati II mengumpulkan warganya Lalu memperkenalkan Pangeraan Kajoran dan Pangeran Trunojoyo kepada mereka. Warga diberi penjelasan bahwa Pangeran Kajoran sanggup untuk ngusadani desa Karangsirno bisa pulih kembali asalkan warganya bersedia untuk memeluk agama Islam secara sukarela. Masyarakat sepakat. Akhirnya masyarakat dibai’at dengan membaca dua kalimah syahadat oleh mbah Pangeran Kajoran untuk masuk agama Islam. Masyarakat diajak untuk menyembah Allah, dan meninggalkan sesembahan yang lama yaitu agama Hindu. Diajak berdo’a kepada Allah agar wabah penyakitnya sirna. Atas izin Allah akhirnya desa Karangsirno terbebas dari wabah penyakit yang selama ini melanda dan sudah memakan banyak korban. Dan masyarakatnya juga sudah hidup dalam suasana yang baru yaitu kehidupan yang Islami berkat hidayah dari Allah dengan perantara Syekh Sayid  Abdurrrahman atau lebih dikenal dengan nama Pangeran Kajoran. dan desa Karangserno dirubah menjadi desa Gringgingsari, nama ini diambil dari tempat berkumpulnya warga Karangserno yaitu di bawah pohon Jaran/Gringging pohon tersebut sekarang sudah tidak ada namun lokasinya di RT 1 RW 1, hal ini menjadi rujukan bila ada warga yang sakit tidak sembuh maka nama yang bersangkutan dirubah. adapun doa yang di baca oleh Syekh Sayid  Abdurrrahman Sunan Kajoran adalah doa yang biasa di baca ketika kegiatan “panjang jimat” yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Gringgingsari satu tahun sekali pada tanggal 12 Robiul Awal dan sholawat yang disukai oleh Syekh Sayid  Abdurrrahman Sunan Pangeran Kajoran adalah Sholawat Nurul Anwar

 

PANCURAN SENDANG DEPOK.

Setelah masyarakat desa Gringgingsari memeluk agama Islam, wabah penyakit kini sudah hilang sama sekali. Masyarakat tentram dan hatinya lega. Aktifitas sehari-hari bisa berjalan kembali dengan lancar. Mereka juga mulai giat belajar mendalami ajaran Islam dibawah bimbingan Syekh Sayid  Abdurrahman atau Pangeran Kajoran.

Pada suatu hari Pangeran Kajoran mengajak beberapa orang pergi ke hutan mencari bambu untuk dibuat rangken atau bahan atap pembuatan masjid desa Gringgingsari. Ketika sampai di hutan dan sudah tiba masuk waktu shalat beliau mencari air untuk berwudlu, namun tidak ada sumber air yang dijumpainya. Akhirnya beliau menancapkan tongkatnya ke tanah, dengan izin Allah keluarlah air dari bekas tongkat yang ditancapkan oleh beliau. Dari situlah bukti karomah yang dimiliki oleh Pangeran Kajoran selaku seorang Waliyullah. Kemudian dibuat pancuran dari bambu. supaya air tersebut lebih mudah digunakan untuk berwudlu, pancuran asli yang terbuat dari bambu tersebut seolah olah terlihat seperti pancuran emas bagi mereka yang masih kedunyan (terlalu cinta dunia) dan di curi oleh orang yang tidak bertanggungjawab dan sekarang pancuran tersebut telah di ganti dengan pipa PVC.

 Kemudian mereka menjalankan shalat di tempat tersebut. Bahkan Pangeran Kajoran juga sempat berniat untuk mendirikan masjid di kawasan tersebut namun urung.  Akhirnya tersebut dinamakan garung dari kata langgar yang wurung atau tidak jadi, tempat tersebut sekarang berada di sebelah timur dari sendang depok. Setelah selasai shalat merekapun istirahat sambil / duduk-duduk untuk menghilangkan lelah. Maka dari istilah ini tempat tersebut dinamakan Depok yang asalnya dari kata ndeprok. Sampai sekarang pancuran Depok masih menjadi tujuan utama para penziarah untuk mandi dan mengambil airnya. Atas izin Allah air tersebut dapat menyembuhkan beberapa penyakit. Dan yang lebih istimewa air tersebut bisa langsung diminum tanpa harus dimasak lebih dahulu. Rasanya begitu segar sekali apalagi kalau kita meminumnya langsung dari pancuran. Bahkan air di pancuran Depok mempunyai kandungan mineral yang cukup tinggi yang sangat berguna sekali untuk kesehatan tubuh bagi yang meminumnya. Lokasi pancuran Depok kurang lebih 2 km arah selatan desa Gringgingsari dengan jalan agak menanjak terutama di gunung Klengkong. Mulai tahun 2009 jalan ke arah sana sudah mulai dilebarkan dan bisa di lalui oleh kendaraan roda dua dan empat. Namun karena belum diaspal jadi kalau habis hujan tidak bisa dilalui.

DESA SODONG

Untuk selanjutnya mereka melanjutkan perjalanannya masuk hutan, keluar hutan, namun belum juga menemukan bambu yang dicari. Kemudian mereka membuat sebuah tempat untuk berteduh namanya Sodong ( ompyong ).  Dari sinilah kemudian nama desa Sodong lahir yang letaknya di sebelah selatan Gringgingsari. Tapi tempat tersebut sekarang sudah tidak berbekas karena perkembangan zaman. Pada tahun 1973 tempat tersebut terkena proyek pembangunan Sekolah Dasar Inpres dan pelebaran jalan, dan akhirnya pagar tersebut dibongkar. Disitu juga masyarakat sodong di bawah kepemimpinan Ki bagus Karang mengumpulkan batu untuk membantu pembangunan masjid di desa Gringgingsari.

Kemudian mereka melanjutkan perjalanannya kembali untuk mencari bambu. Akhirnya mereka pun menemukan rumpun bambu yang dicari. Kemudian bambu tersebut ditebang dan dibawa ke tanah lapang untuk dipotong-potong, dan dijadikan rangken, lokasi tersebut sekarang menjadi lapangan volly dan kolam renang, disitu juga ada petelisanan ki bagus karang dan watu pelen.  Potongan bambu sebagian hanyut terbawa air dan kemudian tumbuh menjadi rumpun bambu yang kemudian oleh masyarakat desa Sodong disengker artinya tidak boleh ditebang oleh siapapun kecuali untuk kepentingan umum. Tempat tersebut dinamakan dapuran larangan / rumpun terlarang, kondisi sekarang rumpun bambu tersebut sudah tidak ada.

BERPERANG DENGAN KI AJAR PENDEK

Untuk membuat rangken membutuhkan tali / tambang untuk merangkai bambu-bambu tersebut. Karena tidak ada tambang, maka mbah Pangeran Kajoran menyuruh sebagian orang untuk pergi mencari rotan. Kebetulan disebelah selatan desa Sodong ada gunung kecil dan di tempat tersebut banyak tumbuh pohon rotan. Mereka pergi ke tempat tersebut dan mulai menebang rotan dan memotongnya. Tanpa mereka sadari bahwa hutan tersebut ada yang menguasainya. Dan akhirnya mereka tertangkap oleh anak buah penguasa hutan tersebut. Kemudian mereka dibawa ke desa Silurah dan di hadapkan kepada penguasa desa tersebut yaitu Ki Ajar Pendek. Mereka pun akhirnya ditahan oleh Ki Ajar Pendek. Karena sudah berhari-hari mereka tidak pulang akhirnya mbah Pangeran Kajoran merasa cemas. Kemudian beliau menyuruh seseorang untuk mencarinya. Setelah dicari akhirnya terdengar kabar bahwa mereka sedang ditahan di desa Silurah atas kesalahan telah mengambil rotan di hutan tanpa seizin dari Ki Ajar Pendek. Utusan itu melaporkan hal tersebut kepada Pangeran Kajoran.

Singkat cerita akhirnya Pangeran Kajoran minta ma’af kepada Ki Ajar Pendek atas kesalahan yang telah dilakukan oleh orang-orang suruhannya. Tapi Ki Ajar Pendek tidak mau menerima permintaan maaf dari Pangeran Kajoran dengan begitu saja. Dia bersedia menerima maaf asalkan Pangeran Kajoran bersedia untuk adu kekuatan dan mengalahkannya. Demi kebebasan orang-orangnya, akhirnya Pangeran Kajoran bersedia untuk menerima tantangan dari Ki Ajar Pendek. Akhirnya pertarungan jarak jauh tingkat tinggi pun dimulai. Ki Ajar Pendek ada di desa Silurah sedangkan Pangeran Kajoran berada di desa Sodong.

Ki Ajar Pendek tahu bahwa waliyullah itu orang suci. Maka iapun menggunakan kesaktiannya dengan membuat hujan cacing supaya mengotori Pangeran Kajoran. Namun Pangeran Kajoran dengan karomahnya menciptakan hujan bebek yang akhirnya memakan cacing-cacing tersebut. Ki Ajar Pendek menjadi geram karena merasa kalah, kemudian ia mengeluarkan ilmunya yang lain yang lebih dahsyat yaitu hujan api. Namun sekali lagi karomah Pangeran Kajoran yang berupa hujan air mampu memadamkan api tersebut. Ki Ajar Pendek pun semakin marah karena selalu kalah dengan Pangeran Kajoran. Akhirnya iapun mengeluarkan kesaktiannya yang lain yaitu berupa hujan batu. Pangeran Kajoranpun tidak mau kalah. Beliau kemudian menciptakan angin topan yang dahsyat. Dengan kekuatan angin topan yang dahsyat tersebut, batu-batu itupun berterbangan dan jatuh di suatu tempat yang jauh. Batu tersebut jatuh di sebuah tempat yang sekarang bernama desa Kuwasan kecamatan Talun Kabupaten Pekalongan. Rumah Ki Ajar Pendek dan seisinya juga ikut terbang terbawa angin hingga tinggal batur atau bekasnya saja. Bekas rumah Ki Ajar Pendek oleh orang-orang silurah dinamakan kebun batur dan sampai sekarang masih ada. Pakaiannya jatuh di desa Sengare, sedangkan ilir atau kipas dari bambu jatuh di desa sumilir. Kedua desa tersebut masuk kecamatan Talun kabupaten Pekalongan dan terletak di sebelah barat Gringgingsari. Sedangkan bokor atau tempat menyimpan beras jatuh di desa Donowangun Talun Pekalongan. Jambangan tempat untuk menaruh air yang terbuat dari batu besar jatuh di suatu tempat yang sekarang bernama dukuh Jambangan desa Batursari Talun Pekalongan.

Menurut cerita bahwa jambangan yang ada di dukuh Jambangan tidak pernah kering airnya. Walaupun musim kemarau airnya selalu ada tanpa diketahui darimana sumbernya. Pada zaman pemerintahan Belanda, karena batu itu ¾-nya terbenam ke dalam tanah akibat jatuh sewaktu terbawa angin sewaktu terjadi pertarungan antara Pangeran Kajoran dan Ki Ajar Pendek maka oleh pemerintah Belanda batu tersebut diangkat ke atas untuk memudahkan orang-orang mengambil airnya. Namun setelah batu jambangan tersebut diangkat justru malah jadi kering tidak keluar lagi airnya sampai sekarang.

Lalu bagaimanakah nasib Ki Ajar Pendek yang juga ikut terbang terbawa angin? beliau jatuh di pendopo kabupaten Batang. Pada waktu itu kebetulan Kanjeng Adipati Batang sedang duduk di pendopo kabupaten dan angop atau menguap. Kemudian dengan kesaktiannya Ki Ajar Pendek masuk ke mulut Kanjeng Adipati dan bersembunyi di dalam perutnya. Kemudian ia disuruh keluar dan akhirnya dijadikan tukang merawat kuda Kanjeng Adipati Batang.

Kemudian Pangeran Kajoran melarang warga Gringgingsari untuk besanan dengan warga desa Silurah selama tujuh turunan. Namun larangan tersebut hari ini sudah berakhir, terbukti sudah banyak warga Gringgingsari yang besanan dengan warga Silurah dan alhamdulillah tidak tejadi hal-hal yang buruk. Hutan rotan yang pernah menjadi sengketa atas izin Allah telah berubah menjadi hutan bambu kecil-kecil. Sedangkan gunung kecil tersebut dinamakam gunung Raga Kesuma. Siapa saja yang lewat di kaki gunung tersebut pasti kulitnya akan mengalami perubahan warna yaitu menjadi cerah kekuningan. Penulis sudah membuktikannya. Namun jika sudah melewati kaki gunung tersebut warna kulit akan berubah seperti semula. Wa allahu’alam.

 

PEMBANGUNAN MASJID

Rintangan sudah berlalu. Rencana  membuat rangken pun diteruskan. Bambu-bambu tersebut dibawa ke Gringgingsari untuk dibuat rangken. Talinya menggunakan penjalin atau rotan. Kemudian masjid didirikan. Atapnya menggunakan ijuk. Tiangnya dari kayu, dindingnya terbuat dari anyaman bambu, dan mustokonya terbuat dari pengaron atau paso tempat air yang terbuat dari tanah liat. Lantainya masih menggunakan tanah, jika mau shalat digelari tikar. Setelah masjid selesai dibangun ternyata belum ada sumber air untuk berwudlu. Kemudian Pangeran Kajoran pergi ke arah selatan desa Gringgingsari. Sampai di suatu tempat yang bernama Klatak atau juga Genting beliau meletakan ujung tongkatnya di tepi sungai dan kemudian menariknya dari tepi sungai tersebut sambil berjalan pulang ke Gringgingsari. Dengan karomah yang dimilikinya tanah yang dilalui Pangeran Kajoran jadi terbelah oleh ujung tongkatnya yang sedang ditarik dan membentuk aliran sungai sampai ke sebelah barat masjid. Akhirnya masyarakat Gringgingsari mendapat manfaat yang banyak. Sungai tersebut tidak hanya digunakan untuk berwudlu, namun juga untuk keperluan mandi, minum, memasak, dan juga untuk mengairi sawah. Oleh masyarakat Gringgingsari sungai tersebut dinamakan kali jamban. Untuk menjaga kesucian air tersebut, dari hulu sungai jamban yaitu dari tempat pertama kali Pangeran Kajoran menarik tongkatnya sampai areal masjid, siapapun dilarang untuk buang air besar, perempuan yang sedang haid dan nifas juga dilarang mandi di sungai tersebut. Siapa yang melanggar larangan tersebut baik disengaja atau tidak, akan terkena laknat atau bendu. Sudah banyak buktinya yang terkena laknat. Juga dilarang untuk kencing di areal masjid dan kawasan pemakaman.

Masjid peninggalan Pangeran Kajoran sudah direhab beberapa kali. Rehab terakhir tahun 2004 dan sampai sekarang belum selesai 100%. Jadi sudah tidak asli lagi. Yang masih asli hanya mustoko pengaron yang ada di samping mustoko yang baru.

PENINGGALAN-PENINGGALAN PANGERAN KAJORAN

Peninggalan – peninggalan Pangeran Kajoran dan tempat sejarah yang masih ada sampai sekarang yaitu :

  • Rumpun bambu atau dapuran larangan di desa Sodong
  • Pancuran Depok yang selalu dikunjungi penziarah untuk mengambil airnya dan mandi. Dilarang mandi sambil telanjang.
  • Masjid Al Karomah. Pemberian nama Al Karomah oleh remaja masjid pada tahun 1987.
  • Pakaian lengkap. Namun karena sudah berusia ratusan tahun maka pakaiannya sudah rusak, kecuali kuluk / ketu / kopiah. Jubahnya tersimpan di desa Kajoran Magelang.
  • Tasbih
  • Tongkat. Selalu dipegang oleh khatib sewaktu khotbah jum’at dan hari raya.
  • Sungai yang melintasi desa Gringgingsari
  • Makam Pangeran Kajoran dan Pangeran Trunojoyo.
  • Mustoko dari pengaron atau paso.